Selasa, 06 Januari 2009

DAYA SAING PRODUK BARANG/JASA DALAM ERA PASAR BEBAS

DAYA SAING PRODUK BARANG/JASA DALAM ERA PASAR BEBAS

A. Latar Belakang
Selama dua tahun terakhir, iklim usaha di Indonesia sangat tidak kondusif karena dipicu oleh ketidakstabilan politik. Hal ini menyebabkan implikasi terhadap penurunan daya tahan mikroekonomi Indonesia di pasar global. Mikroekonomi Indonesia (MCI) itu diukur dari strategi dan operasional perusahaan di negara bersangkutan, dan dari kondisi lingkungan bisnis secara nasional. Selain itu diukur berdasarkan kualitas infrastruktur industri, kualitas SDM, pasar modal, pengembangan klaster, serta tingkat persaingan usaha.
Peringkat daya tahan mikroekonomi (MCI) Indonesia di dunia ada di urutan ke-64. Artinya, posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangga, seperti Singapura (9), Malaysia (26), Thailand (35), Vietnam (60), dan Filipina (61). Peringkat tersebut diperoleh dari survei terhadap 4.700 pelaku bisnis senior di 80 negara di seluruh dunia. Pada penelitian yang sama pada tahun 2001, MCI Indonesia masih berada pada peringkat ke-55. Artinya, dalam setahun peringkat daya tahan mikroekonomi Indonesia melorot delapan tingkat.
Kelemahan daya tahan mikroekonomi Indonesia, yang terutama terjadi pada komoditas pertanian dan perkebunan, adalah disebabkan pemerintah dan pelaku usaha terlalu berorientasi pada sumber daya alam tanpa memperhitungkan nilai tambah. Selain itu, kemauan industri untuk membuat brand (merek dagang) juga rendah. Akibat daya tahan mikroekonomi yang rendah, produk dalam negeri sangat rentan terhadap gempuran produk impor. Di masa perdagangan bebas, kondisi demikian tentu sangat berbahaya pada perekonomian.
Ditambahkan, kondisi di atas semakin diperparah dengan tidak adanya perhatian dari pemerintah dalam mendukung riset terhadap sumber daya alam tersebut. Bahkan, tidak ada juga asosiasi yang dapat memperjuangkan nasib produk-produk mikroekonomi secara utuh.
Ketidakstabilan politik yang terjadi selama ini telah membuat hilangnya jaminan keamanan di Indonesia. Hal ini langsung direspons dengan penurunan investasi asing langsung (foreign direct investment). Akibatnya, dunia usaha pun tidak tumbuh dan berkembang. Wajar saja peringkat kita anjlok ke posisi 64. Selama ini pemerintah memang tidak memiliki strategi jitu untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Jangankan untuk menjaring investor baru, untuk mempertahankan investor yang sudah ada pun pemerintah tidak mampu.
Di sisi lain, dengan adanya pengusaha atau investor akan mampu meningkatkan daya saing. Hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia yaitu meningkatkan kualitas infrastruktur seperti sarana transportasi (jalan), telekomunikasi, perangkat teknologi serta training-training, pelabuhan, bandara. Ketersediaan infrastruktur di Indonesia masih rendah. Padahal inilah yang menjadi pertimbangan investor. Selain rendahnya ketersediaan infrastruktur, kita ketahui bahwa produk dalam negeri selama ini memiliki mutu yang rendah, inilah mengapa kita selalu kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Tulisan ini akan mencoba mengetahui sistem pengawasan dan pengendalian mutu barang di Indonesia, dimana sistem pengawasan dan pengendalian mutu barang di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan mutu produk dalam negeri serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri.. Mengetahui kinerja para auditor LPPOM-MUI di dalam memberikan standarisasi penelitian mutu, mengetahui tingkat perhatian pemerintah terhadap ekonomi mikro (Usaha Mikro Kecil dan Menengah /UMKM) yang dinilai masih sangat rendah, dan mengetahui tingkat kekuatan daya tahan produk dalam negeri di bandingkan dengan produk luar negeri, selama ini daya tahan produk dalam negeri dinilai kalah bersaing dengan produk luar negeri.

B. Sistem pengawasan dan pengendalian mutu barang di Indonesia
Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (PPMB), Departemen Perdagangan, Menteri Perdagangan telah menyerahkan beberapa Sertifikat Produk Pengguna Tanda SNI kepada para produsen. Selama ini tanda SNI digunakan dengan cara dibubuhkan pada produk atau kemasan produk yang telah memenuhi syarat teknis, yang dibuktikan melalui proses sertifikasi. Produk bertanda SNI merupakan produk yang dapat dijamin mutunya baik dari segi kesehatan, keamanan, keselamatan, teknis, maupun proses produksinya yang ramah lingkungan. Sejalan dengan upaya peningkatan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global, penggunaan tanda SNI wajib dan notifikasi ke WTO baru dilakukan pada 34 produk. Hal ini ditujukan terutama dalam konteks perlindungan konsumen di dalam negeri terhadap produk dalam negeri maupun luar negeri. Saatnya kita memperluas paradigma manfaat tanda SNI ini, seiring dengan tekad Indonesia untuk membangun merek lokal atau ‘local brand’ di pasar internasional.
Upaya menjadikan tanda SNI sebagai tanda mutu produk ekspor Indonesia harus mulai digiatkan dengan memperkenalkan SNI ke pasar dunia. Salah satunya melalui kerjasama di bidang pengujian dan sertifikasi produk tujuan ekspor dari beberapa negara untuk ’marking standard’. Salah satu contoh standar Indonesia yang sangat dikenal dunia sehingga pembeli luar negeri merasa tidak perlu menetapkan standar tersendiri adalah Standard Indonesia Rubber, atau yang sering disingkat SIR. SIR telah melalui proses pencitraan (imaging) produk di pasar internasional. Citra merupakan persepsi konsumen yang terkait erat dengan terbentuknya brand sebuah produk, dan terkait langsung dengan daya saing produk yang bersangkutan. Citra yang baik akan membuat produk lebih mudah menembus pasar internasional disamping dapat menciptakan entry barrier bagi produk sejenis dari negara lain
Contoh kerjasama yang telah dilakukan Departemen Perdagangan di bidang pengujian dengan beberapa negara tujuan ekspor: SASO (Saudi Arab Standardization Organization) untuk produk sabun, pasta gigi, shampo dll; Srilanka Standard Institution (SLSI) untuk komoditi susu, minyak dan lemak, serta anti nyamuk bakar; Standard of Nigeria Conformity Assesment Program (SONCAP) untuk komoditi kompor minyak tanah, hand-sprayer, aki kendaraan; Kuwait Conformity Assesment Scheme (KUCAS) untuk komoditi produk elektronik.
Kerjasama tersebut telah memberikan dampak positif kepada pelaku usaha/eksportir dan produsen di Indonesia, dimana produk-produk tersebut tidak lagi menghadapi hambatan teknis yang terkait dengan mutu barang di negara tujuan ekspor. Setiap negara tujuan ekspor berhak menetapkan standar mutu produk tertentu dengan pertimbangan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup (K3L).
Terkait dengan aspek K3L, Indonesia telah menerapkan SNI yang diberlakukan secara wajib bagi produk-produk impor maupun produk sejenis yang diproduksi di dalam negeri, seperti lampu hemat energi, tepung terigu untuk bahan makanan, ban, pupuk, peralatan listrik rumah tangga (kipas angin, MCB, tusuk kontak dan rumah kontak).
Selain itu, produk lainnya yang telah ditetapkan SNI adalah: air minum dalam kemasan, baja lembaran lapis seng, baterai kering, tabung gas, katup, selang, regulator, kompor gas dan lain sebagainya. Untuk seluruh produk yang telah ditetapkan SNI secara wajib dan diproduksi di dalam negeri harus memiliki nomor registrasi produk (NRP) sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007. Pemenuhan terhadap SNI dari produk-produk tersebut dibuktikan dengan diperolehnya SPPT-SNI yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi produk (LSPro) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Kerjasama di bidang pengujian mutu dan sertifikasi akan memberi manfaat bagi kedua pihak, antara lain adanya efisiensi waktu karena tidak memerlukan pengujian ulang di negara tujuan ekspor, penguasaan standar dan metode uji internasional serta terjadinya harmonisasi standar yang akan menumbuhkan pengakuan pasar internasional terhadap mutu produk Indonesia. Sejalan dengan hal ini, maka kinerja ekspor diharapkan akan meningkat.

C. Kinerja para auditor LPPOM-MUI dalam memberikan standarisasi penelitian mutu
LPPOM-MUI melakukan auditor pada perusahaan di berbagai negara untuk menguji tingkat kehalalan dari produk yang diperdagangkan di Indonesia. Hingga untuk memperluas jaringan tersebut auditor membuat internal auditor di perusahaan-perusahaan bersangkutan. Fungsi dari internal halal auditor salami ini yaitu untuk mengontrol dan menjaga kehalalan produk perusahaan selama sertifikat hahal itu berlaku. Potensi halal di Indonesia sangat besar, apalagi bangsa Indonesia sebagai besar penduduknya adalah Muslim. Meski hanya 50 persen penduduk muslim Indonesia yang sadar halal, saya kira potensinya sudah sangat luar biasa.
Sertifikasi halal tidak hanya diberikan kepada perusahaan makanan dan minuman, tetapi peruahaan-perusahaan yang lainnya juga perlu. Bukan hanya perusahaan besar, yang kecil-kecil semestinya punya sertifikat halal. Tidak terkecuali UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Mengingat biaya untuk sertifikasi cukup mahal, untuk UKM LPPOM_MUI sedang merancang program untuk kerjasama dengan pihak Pemda (Pemerintah Daerah) atau pemerintah terkait. Agar mereka membantu untuk biaya sertifikasi UKM. LPPOM_MUI menginginkan kerjasama dengan (Pemda) agar UKM ini terbina dan sadar masalah sertifikasi halal. Pengaruh sertifikasi secara ekonomi untuk UKM, dinilai sangat menguntungkan dikarenakan UKM yang telah bersertifikasi halal akan mengalami peningkatan penjualan. Masyarakat akan merasa aman dan tenang untuk membeli suatu produk yang bersertifikat halal.

D. Perhatian pemerintah terhadap ekonomi mikro (Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM)
Ekonomi mikro selama ini dikenal dengan ekonomi wong cilik dimana dalam ekonomi tersebut terhimpun berjuta manusia yang mengadukan nasibnya untuk hidup sejahtera dan keluar dari jeratan kemiskinan. Dari data sensus statistik penduduk Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan mayoritas bangsa Indonesia 99 % bekerja di wilayah ekonomi mikro atau dikenal dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Meski pelaku UMKM sangat besar dan mampu mendorong sektor riil perekonomian nasinal. Bahkan ketika terjadinya krisis keuangan 1997 mampu survive tetap saja sektor ini dipandang sebelah mata oleh lembaga keuangan khususnya perbankan nasional. Bahkan, pihak perbankan terus memberikan penilaian sektor UMKM adalah penuh dengan investasi beresiko tinggi.
Maka strategi perbankan nasional dalam menyalurkan Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih memilih pada sektor korporasi, pasar modal dan Surat Bank Indonesia (SBI). Toh, jika disalurkan di UMKM adalah UMKM yang sudah berkelas. Sedangkan UMKM yang baru tumbuh amat kesulitan untuk mendapatkan penyaluran pembiayaan, maka sangat wajar, jika laju inflasi nasional tak terkendalikan dan sektor riil tumbuh tidak menggembirakan. Realitas itulah yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM yang terdiri dari Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil dan Menengah, mereka masih meratapi ketiadaan keterpihakan dari pihak perbankan yang selalu menekankan persyaratan-persyaratan yang memberatkan bagi UMKM.
Buramnya wajah UMKM tersebut membuat produk-produk yang di hasilkan oleh UMKM kalah bersaing di pasar nasional maupun global yang akhirnya menjadikan daya penyerapan produk UMKM sangat murah harganya.
Jika dikelompokkan, ada enam permasalahan yang menjadikan UMKM di Indonesia hingga kini masih terpuruk diantaranya adalah: pengelolaan usaha umumnya masih tradisional, rendahnya sumber daya manusia (SDM), akses informasi yang rendah, terbatasnya pemasaran, legalitas formal yang belum memadai , dan terbatasnya akses kredit pada lembaga keuangan.
Kondisi inilah yang menjadikan keprihatinan dari UMKM yang ada selama ini. Rendahnya dana yang diserap oleh masyarakat untuk membangkitkan ekonomi mikro, banyak pengamat ekonomi menilai dari kesiapan pelaku UMKM menangkap program tersebut masih rendah. Maka diperlukan profesionalisme masyarakat dalam mengelola UMKM sehingga kebangkitan ekonomi mikro bisa terwujud di tahun ini.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan ekonomi mikro di Indonesia karena jika ekonomi mikro bergerak dengan cepat maka aktivitas perekonomian makro akan mengikuti. Usaha pemerintah mendorong ekonomi mikro akan sia-sia jika tidak diikuti kemampuan para pengusaha menjalankan usahanya. Gerak ekonomi mikro tersebut sangat dipengaruhi cara para pengusaha menjalankan bisnisnya, perkembangan bisnis pengusaha, dan seberapa dinamis usaha yang dilakukan pebisnis.
Kepiawaian para pengusaha menjalankan usahanya sangat memengaruhi perkembangan ekonomi mikro di Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian semua pebisnis yang menjalankan usaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) melalui ketuanya Amril Arief mengungkapkan, jika aktivitas ekonomi di tingkat mikro bergerak cepat maka roda perekonomian makro di Indonesia akan mengikuti.

E. Tingkat kekuatan daya saing produk dalam negeri di bandingkan dengan produk luar negeri
Perebutan pasar nasional dan pasar internasional terus terjadi dalam perkembangan perdagangan ekonomi global. Kenyataan yang terjadi dilapangan bahwa daya saing produk Indonesia terus melemah. Seperti itu daya saing Indonesia secara nasional dan internasional dibandingkan empat negara lain di ASEAN. Indonesia harus bekerja keras memperbaikinya secara mendasar, terarah, dan efektif.
Selama ini kita ketahui bahwa Negara Indonesia memiliki berbagai jenis produksi, baik produk pertanian, perdagangan, dan jasa. Akan tetapi, pada kenyataannya penduduk negeri ini lebih banyak berminat dengan produk negara lain. Selain dari apek masyarakat sebagai kosumen utama dalam produk-produk negeri, permasalahan ini juga tidak terlepas dari Ekspor dan impor. Sebagai Negara agraris sebenarnya kita pantas malu. Negara yang dulunya (tahun 1984) bisa swasembada beras, kini dengan sangat memelas harus menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sejumlah produk perkebunan lainnya mendapat persoalan dengan para pesaingnya (negara lain) ketika mereka berhasil meningkatkan produksi berlipat. Padahal, mereka banyak belajar dari Indonesia dalam hal produksi, semisal karet dan kelapa sawit. Malaysia dan Thiland telah mampu menjadikan kedua komoditas itu mendominasi pasar internasional. Mereka juga mengembangkan produk turunannya, padahal dulu mereka banyak belajar dari Indonesia. Dulu mereka membutuhkan tenaga dari Indonesia, sekarang mereka memiliki kemampuan lebih dibanding Indonesia.
Kecenderungan impor buah-buahan juga makin mengkhawatirkan, karena akan mendesak buah-buah lokal. Dalam setahun, tercatat sekitar 167.000 ton buah impor masuk ke Indonesia. Kenyataannya, mulai pasar tradisional sampai pasar swalayan diserbu buah impor. Contohnya saja jeruk mandarin, apel puji, jambu Bangkok, dll. Bahkan masyarakatpun lebih tertarik dengan buah impor tersebut dibandingkan apel malang, pisang ambon, nanas subang, dan lain-lain yang notabene berasal dari negeri ini.
Belakangan ini kerisauan petani tebu mulai berkurang setelah pemerintah membuat aturan tata niaga gula impor Oktober lalu. Tata niaga ini dipandang bisa melindungi petani dari serbuan gula impor. Harga gula seketika menjadi naik. Persoalannya, ini bukan akhir dari problema petani tebu.Kegembiraan mereka masih sesaat, karena produsen gula internasional yang bekerja sama dengan pedagang dalam negeri pasti menggunakan berbagai cara agar mereka tidak kehilangan pasar. Selain itu, masalah-masalah industri gula dalam negeri masih cukup banyak yang harus dibenahi agar bisa bersaing dengan gula impor.
Kasus ini menjadi contoh betapa produk pertanian Indonesia mulai berguguran menghadapi perdagangan internasional. Ini baru persoalan efisiensi. Belum lagi pada kesiapan Indonesia menghadapi praktik dagang dan juga situasi pasar. Kasus gula menjadi contoh jelas betapa produk Indonesia rapuh menghadapi perdagangan bebas. Efisiensi pabrik dan produktivitas kebun menjadi problem yang masih harus diperbaiki agar bisa bersaing dengan gula impor. Indonesia bukannya tidak mampu menghasilkan produksi gula dengan efisiensi tinggi. Produsen gula swasta di Lampung sudah membuktikan kemampuan produksi gula dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
Masalah lainnya, produk andalan Indonesia seperti teh, lada, tembakau dan lain-lain mulai terdesak dengan produk dari berbagai negara. Produsen Indonesia kalah dalam hal mengembangkan produk dan pasar, sementara produsen lainnya bisa meningkatkan kualitas dan bisa menyelaraskan dengan selera pasar. Pasar teh Indonesia di Inggris diambil oleh India dan Argentina sedangkan pasar teh Indonesia di Mesir dan Amerika Serikat diambil alih oleh Kenya dan Argentina. Kekalahan itu, misalnya ditunjukkan dengan tampilan produk teh India terkesan lebih eksklusif karena kemasannya lebih menarik. Bahkan, pada beberapa kemasan dicantumkan raja-raja yang pernah menikmati teh tersebut.
Sedangkan dalam kasus beras menunjukkan meski dalam hal efisiensi petani padi tidak tertinggal, namun kenyataannya beras impor lebih murah. Fenomena ini berbeda. Dalam hal produk padi, petani Indonesia harus bersaing dengan beras dumping. Produsen beras internasional menjual stok sebagian cadangan pangannya setelah stabilitas pangan di dalam negeri terhitung aman.
Sisa cadangan ini yang dilempar ke pasar internasional. Mereka berani menjual dengan harga murah karena bila dihitung ongkos produksi dan keuntungan sudah di dapat ketika pemerintah mereka membeli beras milik petani. Hukum rimba perdagangan internasional makin menyebabkan beras lokal terdesak.
Secara berseloroh, ada yang mengatakan, seandainya kapal yang mengangkut beras itu tenggelam sekalipun, pedagang dan petani di negara produsen tidak akan merugi.
Di negeri ini sangat mudah sekali produk Negara lain masuk (impor) karena penyaringan yang kurang strategi dan aspek-aspek lainnya, sedangkan untuk ekspor dari negeri ini sangat sulit untuk menjangkaunya. Contohnya, sampai sekarang, tidak jelas apa maksud pelarangan masuk udang laut Indonesia yang dilakukan Amerika Serikat.
Dari pengamatan di lapangan, Pemerintah Amerika Serikat (AS) beralasan udang yang ditangkap di Indonesia tidak menggunakan alat yang memungkinkan penyu bisa lolos dari penangkapan. Mereka menginginkan agar alat tangkap disertai alat itu, sehingga tidak merusak populasi penyu.
Masih hangat juga dalam ingatan kita ketika Amerika Serikat mempermasalahkan pe-nolakan Indonesia terhadap produk paha ayam mereka. Ketika semua berdebat panjang lebar soal boleh atau tidaknya paha ayam itu masuk, ternyata persoalannya selesai dengan sebuah lobi. Cara Filipina dalam menghadang semen impor bisa menjadi contoh bagaimana memperjuangkan perlindungan bagi produsen dalam negeri. Bahkan, mereka menyertakan kliping koran yang memuat terjadinya kerugian yang diderita produsen semen dalam negeri akibat serbuan semen impor.
Ada beberapa produk yang bisa bersaing seperti ayam utuh, terong, dan sejumlah komoditas spesifik Indonesia. Beberapa kali produsen Indonesia mengekspor ayam utuh ke Jepang dan negara Asia lainnya. Akan tetapi penduduk Indonesia justru lebih banyak mengkonsumsi ayam-ayam boiler yang notabene kelengkapan dalam perkembangbiakannya dari Negara lain.
Soal kualitas, sudah pasti sangat penting. Kadang hanya karena masalah kecil, hal ini menjadi taktik para pembeli untuk menolak produk asal Indonesia. Kursus atau pendidikan dalam hal mutu, sering kali diadakan di sejumlah negara. Forum seperti ini perlu diikuti oleh para produsen untuk mengikuti berbagai isu menyangkut manajemen mutu dan perkembangan standar mutu. Sedangkan soal kuantitas, produsen dalam negeri masih memiliki peluang yang besar untuk memenuhi permintaan pasar luar negari yang masih besar, misalnya produksi kakao.
Pameran internasional untuk memperkenalkan berbagai produk Indonesia, harus selalu diikuti. Dalam sebuah pameran pangan di Paris, Perancis, beberapa waktu lalu, betapa minimnya produsen produk pertanian Indonesia tampil dalam arena promosi. Dari Indonesia hanya terdapat delapan produsen yang ikut, sementara dari Cina dan Thailand mencapai ratusan perusahaan.
Adapun jenis produk perdagangan, lagi-lagi masyarakat lebih banyak berminat dengan produk luar. Contohnya, produk sepatu / sandal impor Belanda, Paris, dan lain-lain lebih ramai di pasaran bila di bandingkan produk sepatu Cibaduyut sebagai produk negeri (Elizabeth, Colleth , Triset vs Garsel). Hal ini juga dikarenakan beberapa factor, baik dari segi kualitas, kreativitas, trendi, gengsi, dan lain-lain. Contoh lain, produk-produk makanan/minuman luar yang lebih banyak diminati (ayam goreng suharti vs KFC, dll). Begitupun dengan produk jasa, masih dengan permasalahan yang sama, dimana produk travelling asing lebih banyak peminatnya di bandingkan produk lokal, dn lain-lain.
Perbaikan kualitas juga diperlukan untuk produk-produk Indonesia, baik yang dulu menjadi andalan ekspor dan sekarang mulai terpuruk. Bukan persoalan yang sepele, jika permasalahannya soal kemasan, soal variasi rasa, gengsi, terkesan lebih trendi, dan lain-lain, tetapi kadang kita kalah cerdik dibanding negara pesaing yang awalnya belajar dari negeri ini kemudian mengembangkannya lebih unik bahkan membuat hak paten atas produk tersebut.
Bisa dibayangkan makanan tradisional di Jawa Tengah yang bernama rengginang yang dipandang sebelah mata di negara kita, ternyata oleh sebuah produsen Jepang telah menjadi produk internasional dengan sebutan rice cracker. Untuk yang seperti ini diperlukan kreativitas dalam berdagang dan prinsip kualitas bermutu yang kokoh. Itu yang masih langka di Negeri ini, sehingga masyarakat lebih banyak berminat dengan produk luar di negeri ini

F. Kesimpulan
Kita mengetahui daya tahan produk dalam negeri sangat rendah. Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya perhatian pemerintah, ini tentu akan sangat berbahaya pada perekonomian. Daya tahan ekonomi sebuah bangsa lebih merupakan kemampuan dari perusahaan dan industri dari sebuah perekonomian untuk menghasilkan produk dan jasa yang mampu bersaing di pasar internasional.
Ekonomi yang memiliki daya saing adalah ekonomi yang mampu melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang tidak hanya mampu menahan gempuran pesaing-pesaing asing di pasar domestik tapi juga mampu melakukan penetrasi dan memenangkan persaingan di pasar-pasar internasional. Dari perspektif ini menjadi jelas bahwa ekonomi Indonesia memang belum memiliki daya saing yang memadai. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah persoalan serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan ekonomi kita ke depan.
Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang berkepanjangan. Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik, perekonomian tersebut akan mampu segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara yang mampu pulih segera dan bangkit perekonomiannya adalah negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik.
Untuk menumbuhkan rasa kecintaan produk dalam negeri, harus melalui penyuluhan-penyuluhan dan pemasangan bolboard yang dipasang disudut-sudut kota. Dengan kegiatan seperti ini diharapkan dapat mendorong perubahan pengetahuan, sikap dan prilaku konsumen untuk mencintai produk dalam negeri sepertihalnya masyarakat Jepang. Yang sangat mencintai produk dalam negerinya sendiri ketimbang produk dari luar negeri. Kecintaan masyarakat akan produk dalam negeri jelas akan menambah permintaan produk yang dihasilkan oleh negeri kita sendiri. Hal ini jelas membawa dampak positif terhadap perkonomian bangsa ini. Dengan banyaknya permintaan barang dalam negeri, akan mendorong pengusaha lokal untuk menanamkan modalnya. Hal ini akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat kita.
Akhirnya, semuanya berpulang kepada kemauan politik pemerintah. Perlu ada kerendahan hati dari pemerintah dan elemen-elemen bangsa yang lain untuk terus menumbuhkan semangat pengabdian pada kepentingan bangsa dan masyarakat. Bukan mementingkan kelompok dan golongan secara sempit sambil menjalankan politics as usual, di mana nafsu berkuasa kadang mengalahkan akal sehat dan dorongan untuk berkarya.

Tidak ada komentar: